Rumoh Beusoe dulu dan sekarang!
Di bawah pohon sawo, Tuanku Manyak, duduk bersila. Sesekali, pria 70 tahun itu menyedot dalam rokok kretek di tangannya. Mata tuanya liar menatap sekeliling bangunan rumah pangung berdiameter 4×8 meter, yang ditempatinya. Hari itu, ia seakan kembali menatap masa lalu.
“Di sinilah berdiri Rumoh Beusoe (Rumah Besi). Ini bekas pertapakan rumah Raja Idi, keluarga saya,” katanya pekan lalu.
Rumah yang ditempati Tuanku Manyak itu berada di Desa Keude Blang, Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur. Warga di situ menyebutnya kawasan Lam Kuta atau kawasan raja. Berdiri di atas tanah seluas dua kali lapangan bola, pohon-pohon kelapa menghiasi sekitar rumah. Tidak ada yang istimewa dari rumah itu. Tak mirip bekas istana kerajaan.
“Yang sekarang ini bukan Rumoeh Beusoe, rumah itu dibongkar sekitar tahun 1975, dulu keluarga saya ribut-ribut soal harta warisan, besi rumah dijual satu persatu oleh saudara tiri ibu saya,” sebutnya.
Menurut Tuanku Manyak, hampir seluruh bagian dari Rumoeh Beusoe terbuat dari besi. Tinggnya mencapai lima meter. Selain tiang penyangga, siku rumah, kuda-kuda atap, tangga rumah itu juga terbuat dari besi. Rumah tersebut menjadi istana Kerajaan Idi, sebelum kerajaan itu runtuh, saat Belanda masuk menjajah.
Dia mengisahkan, Rumoh Besoe dibangun saat kerajaan Idi dipimpin oleh Tuanku Chik Bin Guci, sekitar tahun 1880-an. Saat itu, Idi yang merupakan salah satu kawasan perdagangan di kawasan timur Aceh, banyak disinggahi para pedagang dari berbagai belahan dunia untuk memburu hasil bumi. Tak terkecuali etnis tionghoa.
Pada suatu waktu, saudagar Tionghoa, menghadap Tuanku Chik Bin Guci. Sang saudagar memohon agar diizinkan mendirikan Vihara sebagai tempat mereka beribadah. “orang Cina itu sebelumnya menetap di Malaysia, karena dia punya usaha di Idi, akhirnya dia menetap disini,” sebutnya.
Raja mengabulkan permohonan itu. Syaratnya, mereka harus membangun sebuah rumah dari besi untuk ditempati raja, serta membuat sebuah komplek pekuburan kerajaan.
Tak seperti Rumoh Beusoe yang tinggal cerita, vihara tionghoa masih berdiri kokoh di pusat pasar Idi, sekitar dua kilometer dari Rumoh Beusoe. Memang, tak ada lagi aroma asap dupa yang menusuk hidung. Bangunannya pun terlihat lusuh. Cat merah yang membalut seluruh bagunan kini telah memudar. Tapi dua patung naga yang bertengger di atap bangunan itu masih tampak garang. Mereka berdiri bak binatang penjaga Vihara Murni Sakti.
Meski dari luar terlihat sepi, ternyata vihara itu masih ada yang urus. Rudinyo, salah satu pengelola vihara bilang, bangunan itu berdiri tahun 1888. Katanya, vihara itu salah satu yang tertua di Sumatera.
“Vihara ini sudah sekitar 10 tahun lebih tidak ada kegiatan, kami sedang memperbaikinya kembali,” kata pria berusia 50 tahun.
Menurut Rudinyo, Vihara Murni Sakti merupakan simbol kerukunan beragama di Aceh. Etnis minoritas Tionghoa yang memeluk agama Budha, ternyata bisa hidup berdampingan dengan warga Idi yang beragam Islam.
Vihara ini juga merupakan saksi sejarah etnis Tionghoa pernah berjaya di sana. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang. Petaka datang tahun 1998. Saat itu, gelombang anti Tionghoa muncul di seantero negeri, tak terkecuali Idi. Aksi serupa juga muncul di Panton Labu, Geudong dan Lhokseumawe.
Kala itu, ratusan preman berpakaian pramuka mengobrak-abrik tempat usaha warga Tionghoa. Harta benda mereka dihancurkan dan dibakar. Vihara Murni Sakti juga tak luput dari aksi perusakan. Patung-patung Budha satu persatu dirusak. Setelah peristiwa itu, Vihara tak lagi difungsikan. “Tapi itu konflik politik, bukan agama,” ujar Rudiyanto.
Setelah kejadian itu, hampir semua orang Tionghoa angkat kaki dari Idi. Menurut Rudi, mereka pindah ke Jakarta, Batam dan Medan. “Mereka takut dibunuh,” ujar pria yang akrab disapa Bing-Hoe itu.
Rudi sendiri memilih tinggal di Idi. Kini, dia bersama belasan warga Tionghoa yang masih tinggal di Idi berupaya menghidupkan kembali vihara itu. Pembangunan kembali dimulai sejak 2009. Rencananya vihara akan dirombak menjadi dua lantai. Namun, rencana itu batal karena diprotes tokoh agama setempat. “Kami diminta mempertahankan bangunan lama, tidak membangun dua lantai. Kami harus menyanggupi permintaan itu,” katanya.
Rudi tak mempersoalkan pelarangan itu. Baginya, asal masih diperbolehkan beribadah di vihara saja sudah cukup. “Yang penting kami masih bisa sembahyang disitu,” sebutnya. Apalagi, vihara itu hadir disana atas persetujuan Raja Idi di masa lalu.
Jika warga Tionghoa punya dana merawat peninggalan nenek moyangnya, Tuanku Manyak hanya bisa mengurut dada. Tak sekalipun situs sejarah peninggalan kerajaan Idi itu dipugar. Alih-alih dipugar, rumah bekas istana raja, malah dijual seperti barang loakan.
Meskipun tanpa Rumoeh Besoe, di komplek Kerajaan Idi masih terdapat kuburan raja dan benteng kerajaaan. Sisa benteng itu terletak dibelakang komplek, dekat aliran krueng Idi. Kondisinya juga tak kalah memprihatinkan. Benteng itu hampir amblas akibat longsoran sungai yang tak pernah dibuatkan tanggul.
“Kemarin itu ada anak-anak mahasiswa yang bantu mengecat dinding kuburan, sebelumya tidak pernah,” katanya.
Kini, Tuanku Manyak mengawal lokasi komplek Kerajaan Idi itu sendirian. Dia adalah satu-satunya keturunan raja Idi yang masih menetap di sana. Manyak adalah anak ketiga dari Cut Nyak Fatimahsyam, putri tunggal dari Tuanku Chik bin Guci.
Kakaknya yang pertama bernama Cut Nyak Cek, kini telah meninggal. Abangnya, Tuanku Cut, juga telah meninggal November tahun lalu. Mereka memilik adik kandung perempuan bernama Cut Nyak Puspa yang kini menetap di Jakarta.
Meski kekuasaan monarki raja Idi telah runtuh, warga Keude Blang masih memperlakukan Tuanku Manyak sebagai orang yang dihormati. Saat ada warga yang menggelar kenduri dan acara pesta kampung lainnya, rumah Tuanku Manyak pasti kebanjiran makanan. Bahkan, setiap hari ada saja yang mengantar makanan untuknya.
“Orang kampung disini selalu mengantarkan kuah dan makanan untuk saya, mereka semuanya yang menjaga saya” ujarnya.
Tuanku Manyak pernah diajak adiknya menetap di Jakarta. Tapi, ia menolak. Dia tak ingin membiarkan makam peninggalan keluarganya terusik. Di sisa umurnya, Tuanku Manyak hanya punya satu harapan, ia ingin ada yang menjaga dan merawat komplek peninggalan Kerajaan Idi