Secara linguistik, dîn berarti ketaatan dan balasan. Penulis
kitab Maqâyisul Lughah mengatakan bahwa asal dan akar kata ini berarti
penghambaan dan kehinaan (tunduk). Sedang Râghib dalam Mufradâtnya mengatakan
bahwa agama berarti ketaatan dan balasan.[1] Oleh karena itu, Syâri’at
dinamakan dîn karena ia lazim ditaati.
Pemakain Kata Dîn Dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, dîn dipakai dalam berbagai arti dan makna;
terkadang bermakna pembalasan atau perhitungan, terkadang berarti undang-undang
dan Syâri’at,[2] dan terkadang berarti ketaatan atau penghambaan.[3] Dalam arti
yang terakhir, terkadang memiliki arti luas yang mencakup penyembahan berhala,
seperti ayat yang menegaskan:[4] لكم دينكم
Terminologi Agama
Pengetahuan dan pemahaman arti linguistik agama yang dipakai
dalam Al-Qur’an bukan tujuan utama penulisan buku ini. Yang menjadi maksud dan
tujuan kita adalah arti terminologisnya.
Para pemikir Barat memiliki definisi beragam tentang agama.
Di sini kami akan membawakan sebagaiannya:
# Agama adalah insting, aksi dan kondisi spiritual yang
“menjangkiti” sekelompok orang tertentu dalam kesendirian mereka di hadapan
Tuhan (William James adalag seorang filsuf sekaligus psikolog berkebangsaan
Amerika. Ia Hidup pada tahun 1842-1910).
# Agama adalah komparasi (majmu’eh) keyakinan, aksi, ritual,
dan lembaga-lembaga keagamaan, seperti hauzah ilmiah, masjid dan lain
sebagainya yang dibangun oleh manusia dalam masyarakat yang berbeda-beda.
(Talcott Parsons, cendekiawan Sosial Amerika. Ia hidup pada tahun 1902-1979).
# Agama adalah pengakuan terhadap sebuah fakta bahwa segala
eksistensi adalah manifestasi atau perwujudan dari sebuah wujud yang tak
terjangkau dan tak terdeteksi oleh akal dan ilmu kita (Herbert Spencer, filsuf
dan ahli sosial dari Inggeris. Ia hidup pada tahun 1820-1903).[5]
Kendati sekelompok pemikir dan cendekiawan berasumsi bahwa
pendefinisian agama merupakan usaha yang sulit, hal ini bukan berarti membatasi
dan melarang kita untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud dari sebuah kata
yang ingin kita bahas secara mendalam.
Maksud agama dalam kitab ini adalah seperangkat keyakinan dan
tuntunan praktis yang diklaim berasal dari langit (Tuhan) melalui perantara
para para nabi dan Rasul-Nya.
Dengan demikian, agama valid (haq) adalah agama yang
benar-benar berasal dari Tuhan, yang menjanjikan kebahagiaan abadi bagi setiap
manusia.
Sekelompok pemikir Islam berasumsi bahwa agama merupakan
kumpulan apa yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para nabi dan nasul melalui
wahyu untuk merealisasikan kesempurnaan akhir manusia.
Definisi terakhir ini skupnya sangat sempit dan lebih
spesifik dari definisi pertama, dan hanya mencakup agama valid dan otentik
saja.
Alhâsil, perlu diketahui bahwa keyakinan terhadap sang
Pencipta merupakan elemen terpenting sebuah agama. Dengan kata lain, setiap
aliran yang tidak meyakini adanya Tuhan, tidak bisa dikatakan sebagai sebuah
agama. Dalam hal ini, kita bisa ambil contoh Marxisme. Aliran ini tidak bisa dikatakan
sebagai sebuah agama, karena mereka tidak mempercayai keberadaan Tuhan sama
sekali.
Ringkasan
# Secara linguistik, agama (dîn) bemakna ketaatan dan
balasan. Kata dîn ini digunakan dalam Al-Qur’an dengan arti balasan atau
perhitungan, undang-undang atau Syâri’at, dan ketaatan atau penghambaan.
# Maksud dari agama adalah sekumpulan keyakinan dan tuntunan
praktis yang diklaim berasal dari Tuhan yang diturunkan kepada para utusan-Nya.
# Keyakinan terhadap eksistensi Tuhan merupakan elemen
(unsur) terpenting sebuah agama. Dengan artian, setiap aliran yang tidak
menyakini-Nya tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama.
Dimensi Ajaran Agama
Ulama Islam mengklasifikasikan ajaran dan tuntunan agama
dalam tiga katagori:
Akidah
Bagian ini mencakup ajaran–ajaran mengenai arti sebenarnya
sebuah eksistensi (wujud), Pencipta, awal dan akhir penciptaan. Dengan
demikian, bagian ini lebih umum dari sekedar syarat lazim ke-Islaman seseorang
dan membahas setiap masalah yang berkaitan dengan ciri-ciri fenomena alam.
Dari sini dapat dipahami bahwa Akidah agama lebih umum dari
Ushûluddîn yang merupakan syarat lazim bagi ke-Islaman seseorang, seperti
keyakinan terhadap Tuhan, kenabian, dan hari pembalasan.
Nah, ilmu Kalâm sangat erat hubunganya dengan bagian ini.
Oleh karena itu, ilmu Kalâm juga disebut dengan ilmu Akidah.
Akhlak
Bagian ini menerangkan tuntunan ajaran Islam tentang etika
baik dan budi pekerti, seperti takwa, adil, jujur, dan amanah, serta tips-tips
penyandangan-Nya. Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, ”Akhlak adalah
tuntunan yang berkaitan dengan hal-hal yang layak disandang oleh manusia
dilihat dari budi pekerti dan kaca mata spritual.”[6] Bagian ini terdapat dalam
disiplin ilmu akhlak.
Ahkâm
Bagian ketiga dari tuntunan agama ini berhubungan dengan aksi
dan perbuatan (perilaku). Dengan artian, bagian terakhir ini membahas hal-hal
yang lazim dan tidak lazim dilakukan oleh manusia (wajib dan haram), tindakan
yang lebih baik dilakukan atau lebih baik ditinggalkan (sunnah dan makruh),
serta tindakan apa yang sama sekali tidak memiliki muatan kelaziman maupun
prioritas (mubah). Bagian ahkâm ini termuat dalam ilmu Fiqih.
Perlu ditambahkan di sini, semua yang dijelaskan di atas tadi
berdasarkan pendapat mayoritas ulama Islam. Kenapa kita katakan demikian?
Karena para orientalis juga memiliki klasifikasi lain tentang ajaran dan
tuntunan agama. Mereka menambah beberapa dimensi lain yang menurut persepsi
mereka merupakan dimensi ajaran Islam. Salah satu bagian tersebut adalah
dongeng. Mereka berpendapat, dalam literatur dan teks-teks suci agama banyak
didapati cerita suci, yang merupakan motor penggerak, dan mayoritasnya
mempunyai pengaruh spiritual, seperti cerita para nabi. Hal semacam ini –
menurut mereka – sering dijumpai dalam lembaran-lembaran Al-Qur’an.
Tujuan asli dari penukilan cerita-cerita tersebut tidak hanya
sebagai informasi penambah pengetahuan masyarakat, namun lebih dari itu. Cerita
ini diharapkan dapat mereformasi atau membenahi tatanan masyarakat sosial, dan
menjadi sebuah suri teladan dan pelajaran bagi mereka (para penganutnya).
Para orientalis – dengan berlandaskan ajaran dan tuntunan
agama Kristen dan Yahudi yang sudah diselewengkan – mau tidak mau harus
mengatakan bahwa dongeng yang terdapat dalam kitab-kitab agama itu adalah
bikinan segelintir orang, dengan tujuan utama memberi pendidikan kepada para
penganutnya.
Asumsi ini sangatlah ditentang oleh Al-Qur’an, yang merupakan
satu-satunya kitab orisinil yang sama sekali tidak didapatkan kesalahan dan
kekurangan di dalamnya.[7]
Walaupun demikian, kita menyakini bahwa ada sebagian dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang tersaji dalam bentuk perumpamaan dan pengandain.[8]
Dengan artian, Al-Qur’an terkadang memberikan perumpamaan atau pengibaratan
sebuah premis logis dengan premis indrawi. Kendati demikian, sangatlah jauh
perbedaan antara sekedar percontohan dan kepalsuan.
Ringkasan
# Elemen ajaran dan tuntunan agama bisa dibagi menjadi 3
bagian:
-Akidah
-Akhlak
-Hukum.
# Bagian Akidah mencakup ajaran-ajaran agama, seperti
pengetahuan yang valid tentang eksisitensi (wujud), Pencipta alam, awal
penciptaan, dan akhirnya. Bagian yang satu ini dibahas dalam ilmu Kalâm.
# Bagian etika meliputi tuntunan agama tentang budi pekerti
yang luhur serta cara penyandangannya. Bagian ini dibahas dalam ilmu Akhlak.
# Bagian hukum pembahasan agama mencakup perbuatan wajib,
sunnah, makruh, haram, dan mubah. Ilmu fiqh menjelaskan bagian yang terakhir
ini.
# Selain tiga bagian tersebut di atas, para teolog Barat
menambahkan beberapa bagian lagi yang mereka anggap sebagai elemen ajaran sebuah
agama. Salah satu contoh bagian yang mereka klaim itu adalah dongeng-dongeng
yang termaktub dalam kitab-kitab suci, yang biasanya memiliki pengaruh
spiritual. Mereka mengatakan, karena tujuan utamanya adalah sebagai pelajaran
bagi semua, sangat dimungkinkan dongeng-dongeng itu palsu dan bikinan saja.
Muslimin tidak bisa menerima hal ini, karena Al-Qur’an yang mereka punya bukan
seperti kitab Injil dan Taurat yang sudah diputar-balikkan dan dipalsukan oleh
para penganutnya.
Urgensitas
Pencarian Agama
Sebelum memasuki pembahasan ini, kita harus mengetahui motif
dan faktor pendorong bagi manusia dalam meneliti valid atau invalidnya sebuah
agama. Kenapa harus menelitinya? Lalu kenapa agama valid saja yang harus
diikuti?
Jawaban semua itu adalah akal sehat manusia. Akal sehat
manusialah yang menjadi motif hal tersebut. Akal sehat mengatakan lazim untuk
melakukan hal tersebut. Manusia dengan akalnya harus mengecek apakah para
pengklaim kenabian dan risalah itu pada kenyataannya memang demikian ataukah
tidak? Dan dalam penelitianini, ia harus sampai pada titik di mana ia merasa
yakin secara penuh bahwa mereka itu adalah para pembual dan pembohong atau
sebaliknya. Jika kenyataannya (mereka adalah orang-orang jujur), maka ia harus
melaksanakan segala konsekuensinya, yaitu menjalankan segala ajaran dan
tuntunan mereka. Hal ini karena:
1. Manusia pada dasarnya selalu mencari kebahagian dan
kesempurnaan diri. Hal ini muncul dari rasa cinta pada diri sendiri yang
merupakan motor penggerak utama manusia dalam menjalankan aktifitas
sehari-hari.
2. Ucapan pengklaim kenabian bahwa jika ada orang menerima
ajaran kami dan melaksanakanya dengan sesungguhnya, maka ia akan sampai pada
kebahagian abadi, dan jika tidak ia akan tersiksa selamanya.
3. Ucapan ini ada kemungkinan benarnya. Dengan kata lain,
manusia tidak langsung menyakini bahwa klaim itu invalid sama sekali.
4. Muhtamal (kebahagian abadi dan kesengsaraan
abadi)sangatlah berharga. Betapapun kecilnya ihtimâl(kemungkinan) benarnya
klaim tersebut, akal sehat manusia menganjurkannya untuk memikirkan dan
merenungkannya. Apalagi bukti-bukti dan saksi kebenarannya sangat banyak dan
kuat.
Sebagaimana orang buta yang dalam perjalanannya ditegur oleh
seseorang bahwa 10 langkah lagi kedepan ia akan jatuh ke dalam sebuah sumur dan
jika ia melangkah terus pasti akan tercebur ke dalamnya, dan akan sengsara di
sana. Jika ia menghiraukan teguran itu, pasti ia akan masuk dalam sebuah taman
indah dengan segala isinya. Si buta akan mempertimbangkan kebenaran informasi
orang tadi. Akal sehatnya akan mengatakan, untuk mengecek kebenarannya, aku
harus mencarinya, atau paling tidak, untuk hati-hati aku akan merubah alur
perjalanan.
Dari sini, ketika seseorang mengetahui sekelompok orang besar
dan agung mengklaim sebagai delegasi Tuhan yang datang untuk membimbing manusia
ke arah kebahagiaan abadi, dan di sisi lain ia melihat pribadi-pribadi ini
tidak main-main dalam menyampaikan misi yang diembannya; segala mara bahaya dan
tantangan mereka lalui, bahkan tak jarang dari mereka yang akhirnya rela
mengorbankan jiwanya, maka sangatlah logis bagi setiap orang untuk mengecek dan
meneliti benar tidaknya klaim mereka itu.
Dengan kata lain, menolak bahaya yang mungkin terjadi adalah
salah satu hukum logika yang tak terbantahkan. Kuat tidaknya hukum akal ini
tergantung pada kuat tidaknya ihtimâl dan muhtamalnya. Semakin besar dan
berharga muhtamal, secara logis upaya untuk menghindarinya akan makin besar dan
menguat pula.
Dalam konteks agama, bahaya yang mungkin terjadi akibat tidak
diterimanya agama itu adalah kesengsaraan abadi. Bahaya muhtamal ini sangat
besar dan menakutkan sekali, kendati kemungkinan benarnya kecil sekalipun. Akan
tetapi, pengaruh hukum akal untuk menolak bahaya tetap menjadi pertimbangan
yang layak diperhatikan.
Di samping cinta diri sendiri atau insting mencari keuntungan
dan manfaat serta lari dari kesengsaraan yang telah
kami sebutkan sebagai pendorong manusia untuk meneliti sebuah agama, ada satu
faktor lagi yang mendorong manusia untuk mengecek hal ini. Faktor
tersebut adalah fitrah manusia. Secara fitri, manusia cinta untuk mengetahui
kebenaran, memahami realitas, dan suka mencari kebenaran. Rasa ingin tahu ini
sudah terpatri dalam diri manusia. Rasa inilah yang mendorong manusia untuk
mencari tahu benar tidaknya sebuah agama.
Apakah alam ini memiliki Tuhan? Siapa Ia? Apa ciri-ciri dan
sifat-Nya? Bagaimana hubungannya dengan manusia? Apakah badan manusia yang
material memiliki sesuatu yang lain yang non-material? Apakah ada kehidupan
lagi setelah dunia? Dan kalau memang demikian, bagaimana hubunganya dengan
kehidupan yang sekarang? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan setumpuk pertanyaan
lainnya membuat rasa ingin tahu manusia (fudhûli) mulai terusik, dan hal ini
berkecamuk dalam dirinya, yang tak akan pernah reda sampai ia menemukan jawaban
yang memuaskan. Nah, bagian Akidah dari ajaran agama, senantiasa siap menjawab
dengan tuntas pertayaan di atas tadi.
Ringkasan
# Setiap insan berakal sehat selalu menganggap penelitian
tentang kebenaran sebuah agama itu sebagai sebuah kewajiban. Karena, pertama,
secara subsantial manusia menyukai kebahagiaan dan kesempurnaan diri. Kedua,
para pengklaim kenabian mengatakan, kebahagian dan kesengsaraan abadi
tergantung pada diterima tidaknya ajaran mereka. Ketiga, klaim ini bisa jadi
benar. Dan keempat, besar dan berharganya muhtamal menutupi dan menguatkan
lemahnya ihtimâl (kemungkinan). Dengan memperhatikan empat mukadimah tadi, akal
menghukumi perlu dan lazim meneliti benar tidaknya klaim mereka, karena jika
tidak, selain kebahagiaan abadi akan lenyap dari gengamannya, kesengsaraan
abadi akan siap menyambutnya.
# Selain insting cinta manfaat (keuntungan) dan rasa ingin
lepas dari bahaya, ada faktor lain yang melazimkan manusia untuk meneliti
kebenaran sebuah agama. Hal itu adalah kecenderungan fitri yang timbul dari
dalam jiwa manusia yang berupa cinta akan pengetahuan kebenaran dan hakikat,
atau rasa ingin tahu.
Penantian
Manusia Dari Agama
Dalam pembahasan terdahulu telah dibahas mengenai kelaziman
meneliti agama yang bersumber dari akal sehat setiap manusia. Sekarang
masing-masing kita tanyakan pada diri masing-masing, pada dasarnya apa yang
dibutuhkan dan dicari oleh manusia dalam agama? Apakah yang dijanjikan atau
yang bisa diberikan agama kepada kita? Atau dengan kata lain, apa yang dapat
kita nanti dari agama?
Jawaban global dari pertayaan ini adalah manusia – dengan
bimbingan agama – ingin sampai kepada kebahagiaan dan kesempurnaannya di dunia
dan akhirat. Penantian ini terbilang besar sekali. Selain agama, siapapun dan
apapun tidak akan sanggup untuk menjawab dan menggantikan tempatnya.
Hanya saja, di samping kebutuhan pokok ini, ada
penantian-penantian parsial lain pula yang juga diharapkan oleh manusia,
seperti:
1.Agama bisa diargumentasikan. Yakni, secara logis bisa
dibela, karena unsur-unsur dan ajarannya bisa diterima oleh akal sehat.
2. Agama memberikan makna dalam kehidupan. Yakni, manusia
terjaga dari keputus-asaan, dan menghilangkan asumsi tak bermaknannya
kehidupan.
3. Agama merupakan pemberi harapan.
4. Agama diharapkan bisa meluhurkan segala tindakan dalam
masyarakat sosial.
5. Agama mengajarkan rasa tanggung jawab kepada manusia.
Faktor terpenting dan terpokok dari kelima penantian (baca : manfaat) tadi
adalah faktor pertama dan kedua.
Penantian pertama adalah logisnya pokok-pokok Akidah sebuah
agama membuat orang lebih mudah untuk menerimanya. Dan sanggup mengusir
kerancuan dan kesamaran.
Untuk menjelaskan penantian yang kedua kita bisa katakan,
kehidupan dunia selalu dipenuhi kesulitan, ketersiksaan, dan lain sebagainya.
Kita kerap kali berada dalam kondisi yang tidak kita harapkan sama sekali.
Sebagian ketersiksaan dan kesulitan tadi, bisa hilang dengan kemajuan teknologi
dan sarana-sarana lain. Namun mayoritas kesulitan dan kesengsaraan itu tidak
bisa disembuhkan dan dihilangkan melalui kemajuan teknologi dan sarana materiil
lainnya. Manusia pun dengan kemampuan yang ada tidak akan mampu untuk
menghadapinya.
Sebagai contoh, manusia selalu mencari tahu segala sesuatu
yang kabur di hadapannya, dan ketika tidak mampu menyingkap tabir tersebut, ia
akan merasa tersiksa.
Manusia selalu mencari yang terbaik, tak mau salah dan
disalahkan, dan ketika hal itu tidak kesampaian, lagi-lagi ia akan terluka dan
merasa tersiksa.
Manusia cinta keabadian. Ketika menyadari kehidupan manisnya
harus diakhiri dengan kematian, iapun akan mengalami ketakutan yang luar biasa.
Manusia ingin selalu sampai pada puncak segala sesuatu.
Ketika kekurangan dan keterbatasan menghimpitnya, untuk kesekian kalinya ia
akan tersiksa.
Manusia yang cacat dari sejak lahir dan melihat dirinya tidak
sama dengan manusia normal lainnya; ia tidak bisa mendapatkan fasilitas yang
lebih atau setidaknya bisa didapatkan jika ia normal. Dengan kondisi ini ia
akan patah semangat dan berputus asa.
Hanya agamalah yang sanggup mengobati luka-luka dan rasa
sakit tersebut dan memberikan arti pada kehidupan mereka, dan sanggup
meringankan beban yang mereka pikul.
Jika manusia tahu alam memiliki Pencipta bijak, pemurah, tak
kikir pada hambanya, dan memandang sama pada mereka, tidak ada standar kemuliaan
dan keutamaan kecuali takwa dan pendekatan diri padanya, Sang Maha Adil,
sedikitpun ia tidak pernah menzalimi hamba-Nya, dan mampu merubah segala
kesulitan dan kesengsaraan dalam sekejap menjadi kebahagian, niscaya rasa sakit
ini akan menjadi manis terasa, seperti rasa sakit yang diderita para pencinta
untuk sampai dan bertemu kekasihnya. Rasa sakit inilah yang dirasakan oleh para
arif kita yang tidak mau ia obati kendati banyak tawaran yang datang untuk
mengobatinya.
Maka ketahuilah hakikat ini, wahai pencari hakikat.
Barangsiapa memiliki jiwa semacam ini, maka ia adalah sang pemenang.[9]
Ringkasan
# Penantian utama manusia dari agama adalah untuk
menyampaikannya kepada kesempurnaan dan kebahagian abadi, baik di dunia maupun
di akhirat.
# Selain kebutuhan utama ini, ada kebutuhan lain yang dinanti
oleh manusia dari agama. Antara lain:
1.Agama layak diargumentasikan dan dibuktikan.
2. Agama pemberi arti dalam kehidupan.
3. Agama merupakan pemberi motifasi dan harapan.
4. Agama mampu meluhurkan tujuan-tujuan sosial masyarakat.
5. Agama mengajarkan kepada manusia cara bertanggung-jawab.
# Kehidupan manusia banyak dipenuhi oleh rasa keputus-asaan
dan kesengsaraan. Sebagaian kesulitan dan keputus-asaan itu terkadang bisa
dihilangkan dengan kemajuan teknologi dan pelbagai fasilitas mutakhir lain.
Namun, tidak sedikit dari problema-problema itu yang tidak bisa disembuhkan
oleh fasilitas tadi atau yang lain, seperti kesalah-pahaman, terjerumus dalam
kekhilafan dan kesalahan dalam melangkah dan bersikap, banyangan kematian,
kekurangan, keterbatasan, dan lain-lain.
# Jika manusia memahami bahwa Pencipta alam ini Maha bijak,
pemurah, dan selain takwa tiada standar keutamaan dan kemuliaan lain baginya,
Maha Adil, ia tidak akan pernah berbuat zalim sedikit pun pada hamba-Nya, dan
bisa merubah segala kesulitan dan kesengsaraan sekejap menjadi ketulusan,
niscaya ia akan terjauh dari keputus-asaan dalam hidup dan kehidupan. Ini
merupakan maksud dari ungkapan bahwa agama adalah pemberi makna dalam kehidupan
manusia.
Penantian
Agama Dari Manusia
Telah jelas, bahwa agama sebagai sebuah kumpulan Akidah
(keyakinan) dan seperangkat tuntunan praktis bukanlah sebuah fenomena yang
mampu berkoar demi menanti sesuatu dari manusia atau yang lain. Akan tetapi,
maksud dari judul di atas adalah penantian syar’î dan Pencipta agama atau yang
kita sebut sebagai Tuhan dari manusia.
Ringkasnya, penantian agama (Tuhan) dari manusia adalah
supaya mereka menerima keyakinan-keyakinan agama tersebut, menyakini-Nya dengan
keyakinan yang kokoh serta mengamalkan segala tuntunan praktis. Hendaknya luar
dalam manusia berhias dengan agama, dan menyingkirkan kehinaan dan menggantinya
dengan keutamaan
Tanpa diragukan juga, semua itu akan kembali kepada manusia
sendiri. Artinya, jika kita katakan agama menanti dari manuisa, bukan berarti
agama menginginkan sebagaian dari kehidupan mereka dicurahkan kepadanya dan
akan menambah sesuatu dalam agama. Akan tetapi, terealisasinya semua itu tidak
bermanfaat sama sekali kecuali untuk manusia sendiri. Dengan kata lain, agama
menanti dari manusia supaya mereka sampai kepada kebahagian dan kesempurnaan
serta dapat menikmati anugerah tertinggi dan terbaik dari Tuhan. “Katakanlah
tidaklah aku meminta upah dari kalian kecuali hal itu kembali kepda kalian
sendiri”.[10]
Ringkasan
# Maksud dari penantian agama dari manusia adalah penantian
sang Pencipta agama.
# Penantian Pencipta agama dari manusia adalah supaya
agamanya diterima, diyakini, dan dipraktekan, serta segala ajaran dan tuntunan
yang iajarkan dalam agama diterapkan dalam kehidupan.
# Pada dasarnya, Pencipta agama menginginkan manusia bisa
sampai kepada kesempurnaan dan bisa menggapai anugerah-Nya yang tertinggi.
Faktor
Kecendrungan Beragama
Agama adalah sebuah realitas yang muncul seiring dengan
sejarah manusia. Hal ini juga ditandaskan oleh para penentangnya, mereka yang
tak mampu mengelak dan lari dari keyataan ini. Masalah keyakinan terhadap
keberadan Tuhan sebagai kausa prima, dalam setiap waktu dan tempat, dan dalam
kondisi masyarakat yang berbeda-beda, dari sudut pandang budaya dan pradaban
telah diyakini dengan bentuk yang berbeda-beda pula.
Fakta inipun tak bisa terbantahkan. Kalau setiap orang atau
golongan yang mengakui invaliditas agama, dan menganggap semua ajaran dan
tuntunan agama adalah palsu dan gombal semata, selalu berusaha seoptimal
mungkin untuk mengurangi kecenderungan masyarakat terhadap agama. Sesungguhnya
orang yang tidak menyakini bahwa alam ini mempunyai Pencipta yang disebut
Tuhan, animo masyarakat yang begitu besar terhadap keyakinan beragama dan
penyembahan terhadap Tuhan akan menjadi sebuah fenomena yang menyakitkan buat
mereka yang dengan berbagai cara mereka justifikasikan dan takwilkan.
Teori-teori dalam hal ini telah bermunculan. Sebagaian
darinya begitu lemah kebenaranya sehingga membuat setiap orang tertawa dan
prihatin. Di sini akan kami paparkan sebagaian dari teori-teori tersebut.
a. Teori
Ketakutan
Freud[11] memiliki persepsi bahwa ketakutan adalah faktor
keyakinan terhadap Tuhan bagi setiap agamawan. Namun, Freud bukanlah orang
pertama yang mencetuskan teori ini. Ada orang lain yang lebih dulu
menyakininya.[12]
Secara ringkas, teori ini ingin berasumsi bahwa ketakutan
akan fenomena-fenomena natural (alam), seperti banjir, topan, gempa bumi, rasa
sakit dan kematian, membuat manusia ketakutan yang pada gilirannya, mereka
meyakini ada sumber tunggal yang sengaja memunculkan fenomena-fenomena tersebut
yang mereka sebut Tuhan. Menurut pendapat Freud, Tuhan adalah hamba manusia,
bukan sebaliknya. Pada dasarnya, munculnya keyakinan beragama dalam setiap
benak manusia adalah harapan terjaganya mereka dari bahaya fenomena-fenomena
alam di atas. Untuk lari dari bahaya tersebut, manusia purba mulai menyakini
sebuah eksistensi pemilik kemampuan dan kekuatan dalam mengatur alam dengan mempersembahkan
binatang korban, do’a, ibadah, dan amalan-amalan, seperti cinta, dan kasih
sayang, dan lain sebagainya.
b. Teori
Kebodohan
Will Durant dan Bertrand Russel adalah dua dari sekian banyak
teolog yang menyakini teori ini. Mereka memiliki asumsi bahwa faktor munculnya
kecenderungan beragama adalah kebodohan dan ketidaktahuan manusia. Manusia
purba ketika ia tidak mampu memahami sebab terjadinya fenomena-fenomena
natural, seperti gerhana matahari dan bulan, ia langsung meyakini suatu wujud
yang menyebabkan semua hal di atas. Mereka menamakannya Tuhan. Dan tidak hanya
fenomena alam saja, semua hal yang tidak diketahui sebabnya mereka kembalikan
kepada Tuhan. Untuk membuat Tuhan tidak murka dan supaya selamat dari dari
fenomena-fenomena langit dan bumi tadi, mereka mulai mengadakan ritual-ritual
yang dapat menyejukkan hati Tuhan, seperti tunduk dan beribadah di hadapan-Nya.
Kritikan
Terhadap Dua Teori Di Atas
Untuk mengkritik dua teori di atas perlu kita bawakan
pendahuluan berikut ini:
# Kedua teori di atas hanya sekedar asumsi (fardhiyah yang
sampai sekarang belum terbukti kebenarannya) dan kemungkinan saja, tidak lebih.
Lebih dari itu, keduanya tidak memiliki argumentasi dan pijakan historis yang
dapat dijadikan sandaran.
# Kita asumsikan teori di atas benar dan mayoritas atau
sebagian dari manusia karena rasa takut dan ketidaktahuan menyakini sebuah
wujud yang mereka namakan Tuhan yang pada akhirnya mereka sembah. Namun,
kendati demikian, hal ini tidak mengkonsekuensikan ketiadaan Tuhan itu sendiri,
yang membuat semua agama batil dan invalid. Dengan kata lain, kita terima rasa
takut dan bodoh sebagai sumber kecenderungan beragama, dan itu merupakan sebuah
kesalahan, namun ketidakbenaran ini bukan berarti penafian wujud Tuhan dan
kebenaran agama.
Sebuah contoh, pelbagai inovasi dan kreasi baru, kebanyakan
timbul bertujuan sebagai sarana mencari popularitas, meraup kekayaan dan
tergiur oleh posisi mapan dalam pandangan masyarakat sosial. Faktor-faktor ini
tidak benar dan tidak luhur sama sekali. Akan tetapi, ketidakbenaran
tujuan-tujuan tadi bukanlah indikator kesalahan dan kebatilan inovasi ilmiah
tersebut.
Ringkasnya, kedua teori ini telah mencampur-adukan antara
sesuatu yang memotifasi manusia pada sebuah tujuan (anggîzeh), dengan sesuatu
yang kepadanya manusia bergerak atau apa yang akan didapatkan manusia,[13] dan
menjadikan invaliditas satu sebagai indikator invaliditas lainnya.
# Ada bukti-bukti lain yang mengindikasikan invaliditas dua
teori di atas. Untuk teori pertama kita dapat menyangkalnya dengan hal-hal
berikut ini:
1. Sejarah telah mencatat bahwa para pembawa misi dan
duta-duta Tuhan itu selalu menjadi person-person paling berani di zamannya.
Mereka selau berdiri tegak walaupun bahaya mengancam.
2. Kita dapati bahwa hanya manusia kerdil nan penakut yang
sama sekali tidak meyakini keberadaan Tuhan.
3. Jika akar keyakinan terhadap Tuhan adalah rasa takut akan
fenomena-fenomena natural, lalu bagimana dengan masa sekarang ini yang
mayoritas manusia memahami fenomena-fenomena tadi? Seharusnya keyakinan
beragama sudah lenyap dan sirna, atau paling tidak, sudah pudar. Sedangkan
fakta dan realita di luar tidaklah demikian. Malah bisa dibilang, keyakinan
terhadap Tuhan merupakan wacana terpopuler dan paling digandrungi oleh manusia
saat ini.
Bukti-bukti yang menguatkan invaliditas teori kedua pun
(teori kebodohan) tidak kalah banyaknya. Cukuplah kita sebutkan satu saja di
sini.
Sejarah telah mencatat bahwa para penganut agama bukanlah
segerombolan orang-orang buta huruf dan tak berpengetahuan. Akan tetapi,
penganut agama terdiri dari berbagai lapisan, yang salah satu dari lapisan
tersebut adalah cendekiawan, ilmuwan, dan pakar-pakar kaliber di berbagai
bidang ilmu pengetahuan, seperti Einstain, Newton, Galileo, dan sederet nama
tenar lainnya. Mereka adalah para ilmuwan tersohor yang secara tulus meyakini
keberadan Tuhan.
# Menurut kita, ada dua faktor kecenderungan beragama:
pertama, setiap maujud pasti ada yang mewujudkan. Setiap sesuatu yang mungkin
ada dan mungkin tidak, mustahil bisa ada dengan sendirinya. Kedua, panggilan
jiwa manusia untuk ber-Tuhan, suara dan bisikan ini sudah terformat dalam
setiap hati manusia di sepanjang sejarah. Sebagaimana naluri ingin tahu dan
cinta keindahan sudah tersedia di dalam setiap person manusia tanpa dicari. Begitu
juga dengan naluri ber-Tuhan dan menghamba kepada-Nya sudah ada pada setiap
manusia. Hal ini merupakan fitrah Ilahiah yang mendorong dan memicu mereka
untuk meyakini keberadaan Tuhan.
Poin-poin
penting
a. Dengan mencermati secara seksama teori-teori yang telah
kita paparkan dan kita kritik tadi, kita bisa memahami bahwa fanatisme yang
amat kental dari para pemilik pendapat ini telah membutakan mata hati (fitrah;
bisikan pemanggil Tuhan) dan logika mereka.
b. Para pencetus teori di atas sudah dari awal mengasumsikan
tidak ada motif logis dan rasional bagi timbulnya kecenderungan beragama
sehingga ujung-ujungnya mereka terpaksa ngelantur dan menganggap faktor
psikologis tertentu sebagai sebab munculnya kecenderungan beragama. Mereka
tidak jauh berbeda dengan orang-orang pra-sejarah yang menyebut setiap
kejadian-kejadian alam yang tak diketahui sebabnya sebagai hasil dari sihir.
Kalau mereka mau jujur dan sedikit berpikir logis dan rasional, teori ini tidak
akan mungkin akan terlintas dalam benak mereka.
Ringkasan
# Sejarah agama seiring dengan munculnya sejarah manusia.
# Para penentang keberadaan Tuhan senantiasa berupaya
memanipulasi dan menjustifikasi keyakinan manusia sepanjang sejarah sehingga
sesuai dengan Atheisme yang mereka yakini.
# Sekelompok orang berkeyakinan bahwa rasa takut akan
fenomena-fenomena yang menakutkan, menjadi pendorong bagi manusia bersepakat
untuk menciptakan sebuah sebab tunggal, yang mereka namakan Tuhan. Faktor
munculnya keyakinan beragama dalam setiap benak manusia adalah harapan untuk
lolos dari mara bahaya.
# Para pemilik teori kebodohan meyakini bahwa faktor
keyakinan orang-orang terdahulu kepada Tuhan adalah ketidaktahuan mereka
terhadap sebab-sebab fenomena alam yang terjadi, seperti gerhana matahari dan
bulan. Menurut mereka, Tuhanlah yang menjadi sebab bagi setiap kejaian yang tak
mereka ketahui sebabnya itu.
# Kedua teori di atas masih berupa asumsi dan anggapan saja.
# Dengan mengasumsikan kebenaran dua teori tadi, tetap tidak
menjelaskan faktor manusia dalam beragama dan keyakinan terhadap Tuhan. Dan
ketidakbenaran faktor ini, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk
menafikan keberadaan Tuhan, karena benar tidaknya faktor setiap tindakan dan
benar tidaknya tindakan itu sendiri adalah dua permasalahan tersendiri.
# Teori ketakutan tidak benar karena; 1. Para duta Tuhan
adalah orang-orang paling berani di zamanya. 2. Orang-orang penakut pun banyak
berkeliaran yang tak memiliki keyakinan kepada Tuhan. 3. Di zaman sekarang,
fenomena menakutkan yang tak dipahami sebabnya telah berkurang sampai batas
tertentu, tapi keyakinan terhadap Tuhan masih tetap ada dan tak berkurang
sedikit pun.
# Teori kebodohan pun juga tidak kalah krusialnya, karena
sebagian dari para ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan adalah orang yang beriman
secara tulus kepada Tuhan.
# Teori valid akan munculnya keyakinan pada Tuhan ada dua:
pertama, akal sehat manusia menghukumi setiap makhluk butuh pada khalik, dan
kedua, fitrah manusia.
Faktor-faktor Ditertawakannya Agama Di Barat[14]
Pada abad ke-18 dan seterusnya, masyarakat Eropa mulai
berbondong-bondong manganut faham Atheisme. Atau kurang lebih bisa dibilang,
tendensi terhadap agama mulai berkurang. Munculnya Atheisme dan keengganan
beragama di dunia belahan Barat ini, disebabkan setumpuk alasan, yang dalam
buku ini, kita hanya mau membawakan alasan dan faktor-faktor terpentingnya
saja.
1. Ajaran
Kristen Yang Tak Komprehensif
Penjelasan dogmatis agama yang terdapat di Barat dan
didominasi oleh Dewan Gereja, sangatlah lemah dan tidak logis sama sekali. Setiap
akal sehat tidak bisa menerima dan menelan mentah-mentah setiap ajaran yang
ada. Syarat pertama yang harus terpenuhi adalah ajaran tersebut hendaknya tidak
bertentangan dengan akal sehat.
Sebagai contoh, Gereja mengilustrasikan Tuhan bak manusia;
mereka memperkenalkan pada khalayak Tuhan yang bersosok, bertangan, dan
berkaki, mempunyai mata dan telinga, sama persis dengan yang dimiliki manusia.
Hanya bedanya, – menurut mereka – milik Tuhan lebih besar dari pada milik
manusia.
Jika mulai dari masa kanak-kanak mereka telah mendoktrinkan
Tuhan semacam ini, ketika menginjak dewasa dan sang anak memahami bahwa Tuhan
semacam ini tidak layak dikatakan Tuhan, maka bukan hanya si anak tak mau
membenarkan dan mempercayai doktrin tersebut di atas. Lebih parah lagi, ia akan
mengingkari keberadaan Tuhan itu sendiri.
Dalam kitab Tuhan dalam Natural, Palamariyun mengatakan,
“Dewan Gereja menegaskan, jarak mata kanan Tuhan dengan mata kirinya sekitar 6
ribu Farsakh.”
2.
Kekerasan (Baca : Kekejian) Gereja
Dalam menyampaikan ajaran-ajaran dan tuntunan agama, mereka
memaksa mayarakat untuk menerimanya. Gereja tidak segan-segan bertindak ‘bodoh’
dan kejam, bahkan mereka bersikeras mendoktrinkan pelbagai kajian dan konsep
invalid dalam kaca mata sains sekalipun. Sebagai contoh, mereka meyakini
matahari berputar mengitari bumi yang statis. Keyakinan semacam ini yang jelas
kontradiktif dengan hasil kajian dan riset ilmiah, menjadikan manusia lari dan
menghujat ajaran dan tuntunan agama (Kristen).
Gereja pada abad-abad pertengahan memiliki sebuah lembaga
pengadilan yang bernama Angizisition atau pengecekan Akidah. Lembaga ini segaja
didirikan untuk menindak para penentang kebijakan gereja.
Will Durant dalam mengomentari kekerasan Dewan Peradilan ini
menulis, ”Gereja memiliki cara khusus untuk menyiksa orang yang tertuduh
menodai dan menentang ajarannya. Cara mereka dari waktu ke waktu berbeda antara
satu dan yang lain. Terkadang terdakwa digantung dalam kondisi tangan terikat
ke belakang, terkadang diikat sampai tak bisa bergerak, kemudian mereka
teteskan air ke dalam tenggorokannya sampai mati, terkadang pula lengan dan
betis mereka diikat dengan kuat, sehingga tali-tali itu menembus daging, dan
tak jarang pula tulang-tulang itu patah”.[15]
Durant juga mengatakan, ”Jumlah korban kekejian gereja pada
tahun 1480-1488 (dalam kurun waktu 8 tahun), mencapai 8.800 jiwa dibakar,
96.494 dikenai hukuman berat. Sedang dari tahun 1480 hingga 1808, sekitar
31.912 jiwa dibakar dan 291.450 dikenai hukuman berat”.[16]
Melihat kekejian yang mereka terima dari pemimpin agama yang
semacam ini, sedikit demi sedikit masyarakat Barat mengingkari pemilik agama
itu sendiri, dan itu adalah Tuhan.
3. Konsep
Filosofis Yang Tak Konprehensif.
Untuk menjelaskan yang satu ini, dibutuhkan penjelasan beberapa
poin filosofis yang tidak sesuai dengan kapasitas kitab sekecil ini. Oleh
karena itu, kami hanya akan mengemukakan kelemahan sikap para agamawan Barat
(kaum Kristiani) secara rasional dalam menjawab kritkan-kritikan yang mengarah
kepada konsep ke-Tuhanan dan Kalâm mereka.
Untuk itu, kami akan menukilkan ungkapan yang ditulis oleh
Bertrand Russel[17] dalam bukunya “Kenapa Kita bukan Kristiani?”. Russel adalah
seorang peragu keberadaan Tuhan (skeptis). Namun, secara praktis ia seorang
Atheis. Ia menuturkan, ”Argumen kausa prima untuk membuktikan keberadaan Tuhan
mengatakan, semua yang kita lihat di dunia pasti memiliki sebab, dan jika mata
rantai ini kita kita teruskan, ujung-ujungnya akan berakhir pada sebuah sebab
awal yang sering disebut sebagai sebab dari segala sebab, yang dikenal oleh
kalangan agamawan sebagai Tuhan”.
Russel mengkritik argumentasi ini dengan perkataaannya, “Pada
masa remaja, aku tidak merenungkan permasalahan ini dengan baik dan selama
kurun waktu yang panjang argumentasi kausa prima ini saya terima. Sampai suatu
saat usiaku menginjak 18 tahun. Aku baca biografi kehidupan John Stwart. Aku
temukan sebuah kalimat yang berbunyi ”ayahku bilang, pertanyaan siapa yang
menciptakanku? tidak memiliki jawaban, karena spontanitas jawabannya akan
disusul dengan pertanyaan baru, siapa yang menciptakan Tuhan itu sendiri?”
Kalimat simpel ini ternyata menyingkap kebohongan argumentasi kausa prima
bagiku, yang sampai saat ini kebohongan ini tetap kuyakini. Jika sesuatu eksis
tanpa sebab, maka ia bisa jadi Tuhan dan alam sekaligus. Maka dari sinilah
tampak kesalahan argumen kausa prima itu”.[18]
Siapapun yang sedikit mengenal filsafat Islam, niscaya ia
akan menemukan kelemahan dan kesalahan kritikan Russel itu. Menurut asumsinya,
hukum kausalitas mencakup semua wujud, termasuk Tuhan. Sedangkan yang benar
adalah hanya maujud mungkin yang bisa ada dan yang membutuhkan pada sebab.
Dengan demikian, sudah dari awal Tuhan keluar dari kaedah di atas, karena Ia
adalah Wâjibul wujûd. Sebagai contoh, setiap orang lalim selalu berkata bohong.
Premis ini sudah dari awal tidak mencakup orang adil.
Untuk penjelasan lebih lanjut diperlukan pembahasan filosofis
dan hal ini tidak sesuai dengan kapasitas buku ini.
4. Konsep
Sosial Politik Yang Tak Konprehensif
Sudah menjadi rahasia umum di Barat bahwa kepemimpinan agama
dalam sebuah masyarakat akan mengancam kebebasan personal dan munculnya
diktatoris dan pemerintahan monopolis oleh segelintir orang yang mengklaim
sebagai duta-duta Tuhan. Masyarakat berasumsi, jika mereka menerima Tuhan,
berarti secara otomatis ia harus menerima diktatoris absolut, di mana person
tidak memiliki hak sama sekali pada pemimpin, dan para penguasa tidak memiliki
tanggung jawab dan kewajiban sama sekali di hadapan masyarakat. Dengan
demikian, menerima Tuhan berarti menerima kematian sistem sosial, dan jika
masyarakat ingin menikmati kebebasan sosial, mereka harus meninggalkan atribut
yang berkenaan dengan ke-Tuhanan dan agama. Akhirnya, mereka lebih mengutamakan
kebebasan dari pada memilih percaya pada Tuhan.
Dalam Islam sebagai satu-satunya agama yang belum terjamah
tangan-tangan kotor para pembohong, setiap dari pemimpinnya menegaskan bahwa
jika mereka memiliki hak atas masyarakat, maka manusia pun memiliki hak pula
atas mereka. Sebagai contoh, kita bawakan sabda Amirul Mukminin dalam Nahjul
Balâghahnya. Beliau berkata, “Allah SWT dengan pemerintahan yang ia berikan,
telah meletakkan hak bagiku atas kalian, dan begitu pula kalian juga memiliki
hak atas ku. Hak selalu dua sisi, tidak ada orang yang berhak atas yang lain
kecuali ia punya kewajiban atas yang lain pula. Tidak ada orang yang memiliki
hak atas orang lain dan orang lain tidak memiliki hak atasnya. Jika ada, ia
hanyalah Tuhan semata. Makhluk-Nya tidak memiliki keistimewaan seperti itu, karena
Ia memiliki kekuatan dan kekuasaan atas para hamba-Nya, dan Ia Maha Adil yang
sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya”.[19]
Dalam undang-undang dasar Republik Islam Iran – yang
merupakan refleksi dari Al–Qur’an dan hadis –, kebebasan masyarakat dan hak
bicara serta protes terhadap pemerintah tetap terjaga. Mereka memilih
wakil-wakil untuk memimpin dan menjalankan roda pemerintahan. Pada pasal ke-6
UUD tersebut disebutkan:
”Dalam Republik Islam Iran pengaturan negara diatur
berdasarkan pendapat mayoritas dan umum melalui proses pemilihan; pemilihan
persiden, MPR Islami, anggota Syura, dan yang lainnya, atau melalui penjajakan
umum dalam kasus yang telah ditentukan oleh undang-undang”.
Dalam Pasal ke-19 dan 20 disebutkan, ”Masyarakat Iran adalah
sama dari segi hak-hak dari kaum dan kalangan apa saja ia. Hal-hal seperti
warna kulit, keturunan, bahasa dan yang lainnya bukanlah tolok ukur
keistimewaan. Semua warga, baik laki-laki maupun wanita, dilindungi oleh
undang-undang, dan akan mendapatkan perlakuan yang sama di bidang hak asasi,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan tetap menjaga kode etik Islam”.
5.
Penjelasan Dari Non Spesialis
Kendati dasar ber-Tuhan sangatlah simpel dan semua orang
merasa punya tugas untuk itu dilihat dari sudut pandang fitrah, akan tetapi,
pendalaman dan penyelaman mengenalnya merupakan permasalahan yang amat pelik.
Pembahasan tentang sifat-sifat Allah, Asma`-Nya, Qadhâ’ dan Qadar-Nya, jabr dan
ikhtiâr, dan lain sebagainya – menurut ungkapkan Amirul Mukminin – adalah samudra
dalam yang tidak sembarang orang mampu menyelaminya. Ironisnya, baik di Barat
atau di Timur, setiap orang menganggap punya hak dan kemampuan untuk
menjelaskannya. Inilah yang menyebabkan konsep-konsep agama menyebar di
tengah-tengah memasyarakat dengan tidak benar. Hal yang membuat mereka ragu
akan kebenaran agama. Syahid Muthahari berkata, “Seseorang dalam menjawab
pertayaan kenapa Tuhan memberikan sayap pada burung merpati dan tidak pada
unta? berkata, jika unta memiliki sayap, maka kehidupan kita akan hancur,
karena unta terbang itu akan menghancurkan rumah, dan segalanya. Kemudian yang
lain pun ditanya apa argumen keberadaan Tuhan?, ia berkata, selagi tak ada,
tidak perlu kita ekspos ke khalayak”.[20]
Memang benar, lemahnya sebuah argumentasi bukan berarti
menunjukkan invaliditas sebuah dakwaan dan klaim. Namun, dari sisi kejiwaan,
setiap argumentasi lemah yang dibawa untuk menetapkan sebuah dakwaan,
lama-kelamaan pendengar akan meragukan kebenaran dakwaan itu. Bahkan lebih dari
itu, sangat besar kemungkinannya ia akan mengingkarinya sama sekali.
Dengan demikian, pembelaan yang tidak kokoh dan mantap
tentang masalah keyakinan beragama dari mereka yang tidak memililki
spesialisasi tentang itu merupakan salah satu faktor kecenderungan Atheisme.
6. Persepsi
Kontradiksi Antara Agama Dan Kebahagiaan Duniawi
Manusia memiliki sebuah keinginan dan insting sebagai
anugerah Tuhan untuk menata dan mendorong manusia ke arah kesempurnan-Nya,
seperti kecenderungan seksual, memiliki keturunan (berevolusi), mencari ilmu
dan pengetahuan, serta kecenderungan kepada kecantikan dan keindahan.
Sekalipun manusia dilarang untuk mengikuti secara mutlak
kecenderungan-kecenderungan di atas, namun hal ini tidak berarti
kecenderungn-kecenderungan tadi dilepas dan tak terlampiaskan atau ditolak
secara frontal. Naluri tadi harus dipupuk, diarahkan, dan dilampiaskan secara
proporsional dan berimbang serta dengan jalan yang telah dibenarkan.
Nah, kalau dengan nama Tuhan dan agama semua insting itu
dinafikan sama sekali, seperti proses pembaptisan, pasturisasi, penyucian,
perkawinan dianggap dosa, kebodohan, dan kemiskinan dianggap sebagai penyebab
keselamatan, serta pengetahuan dan kekayaan dianggap penyebab kesesatan, maka
secara alami orang-orang yang selalu dibawah kontrol hal-hal di atas, satu demi
satu akan mengingkari keberadaan Tuhan dan agama. Realitas inilah yang menimpa
masyarakat Barat, dan sebagian masyarakat muslim dalam skala kecil.
Russel mengatakan, “Ajaran gereja telah menempatkan manusia
dalam dua dilema, kesengsaraan dan kepapaan; kesengsaraan dunia dan pelarangan
atas kenikmatannya, atau kesengsaraan dan pelarangan dari nikmat-nikmat
akhirat. Menurut gereja, manusia harus menerima salah satu dari kesengsaraan di
atas; bisa jadi ia melepas kesengsaraan dunia untuk kebahagian akhirat, atau
kalau ingin menikmati kenikmatan dunia, ia harus rela melepas kenikmatan
akhirat”.[21]
Opini ini jelas salah dan invalid. Agama valid harus bisa
menjamin kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Barangsiapa melarikan diri dari
agama, ia akan tersiksa selamanya, baik di dunia maupun di akhirat. Pertanyaan
semisal kenapa Tuhan menyuruh kita untuk memilih satu dari dua pilihan?, apakah
Tuhan itu kikir? dan pertanyaan yang lain, akan selalu terlintas dalam benak
pikiran manusia normal. Pada realitanya, ajaran-ajaran agama senantiasa
memelihara dan menjamin kebahagiaan manusia.
Syahid Mutahhari mengatakan, “Ajaran-ajaran sesat dan
menyimpang yang disampaikan para muballigh dan da’i-da’i, membuat manusia
enggan beragama dan ber-Tuhan, serta akan timbul anggapan bahwa agama merupakan
penyebab kesengsaraan dan kehinaan di dunia”.[22]
7.
Dekadensi moral
Harus diakui, penerimaan agama serta ajarannya membatasi
gerak manusia, sehingga mereka yang tenggelam dan terlena oleh buaian meterial
dan menganggap agama sebagai pembatas kebebasannya dan penghalang untuk
mendapatkannya, pasti akan mengingkari kebenaran agama.
Al-Qur’an menyebutkan tiada orang yang mengingkari hari
kebangkitan kecuali karena disebabkan kecintaan mereka yang berlebihan terhadap
dunia dan isinya, dan bukan karena ketidakpahaman mereka tentang hari yang
pasti akan datang itu.
بَلْ يُرِيْدُ اْلإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ
“(Manusia tidak memiliki keraguan tentang akhirat), akan
tetapi, ia ingin (bebas dan tanpa rasa takut akan pengadilan akhirat) berbuat
maksiat terus-menerus”. (Al-Qiyâmah 5)
Di sisi lain, dosa dan dekadensi moral merupakan faktor utama
terdepaknya kebenaran. Tauhîd laksana bibit yang hanya bisa tumbuh subur dan
berkembang di atas lahan yang suci. Dengan demikian, lahan tandus dan kotor
akan merusak bibit ini. Jika manusia dalam segala perilakunya menjadi budak
nafsu, penyembah materi, secara bertahap ia akan beradaptasi dan terpengaruh
dengan lingkungan yang ia geluti.[23]
Oleh karenanya, dengan Al-Qur’an Allah hanya bisa memberi
petunjuk kepada pribadi-pribadi yang bertakwa[24] dan peringatan Al-Qur’an pun
hanya mencakup orang-orang yang jiwa dan ruhnya tidak mati dan gersang akibat
tenggelam dalam nafsu dan kenikmatan material.[25]
Dekadensi moral yang mencapai klimaksnya di Barat telah
mengurangi kecenderungan spiritual masyarakat dalam dua atau tiga abad terakhir
ini dan menjadi faktor utama pengingkaran terhadap keyakinan-keyakinan
agama.[26]
Dengan teori dan serangan semacam inilah (teori dengan
bersenjatakan perusakan moral), kaum Kristiani sanggup “mengusir” kaum Muslim
dari Spanyol. Mereka mempertontonkan kerusakan moral, kebebasan seksual dan
lain sebagainya di tengah-tengah masyarakat Islam.
Ringkasan
Faktor-faktor terpenting munculnya Atheisme di Barat adalah
sebagai berikut:
1.Ketidaklengkapan agama Kristen. Gereja mengilustrasikan
Tuhan layaknya seorang manusia. Menurut mereka, Tuhan memiliki badan sama
seperti manusia, hanya saja lebih besar dari manusia. Akal sehat tidak akan
mungkin mempercayai hal seperti ini.
2.Kekejian gareja. Untuk menyampaikan ajaran dan
interperetasi yang dimilikinya, dan supaya semua itu diterima oleh manusia,
Dewan Gereja tidak segan-segan menyiksa para penentang-penentangnya, bahkan tak
jarang juga mereka mencabut nyawa mereka. Dengan demikian, tiada reaksi lain
yang akan timbul dari masyarakat kecuali pengingkaran akan agama dan Tuhan itu
sendiri.
3.Ketidaksempurnaan pemahaman filosofis. Ke-Tuhanan dan Kalâm
di Barat tidak mampu menjelaskan keberadaan Tuhan dan berbagai keyakinan agama
lainnya dengan jitu.
4.Kekuarangan mengenai pemahaman sosial dan politik. Di
Barat, telah tersebar sebuah asumsi tak sehat dan tak benar. Hal itu adalah
menerima sebuah agama menyebabkan hilang dan lenyapnya kebebasan personal dan
sebuah bentuk penyerahan diri pada kediktatoran. Oleh karena itu, masyarakat
rela melepas agama dan Tuhan demi menggapai kebebasan mereka. Padahal hal
semacam ini bertolak belakang dengan pemahaman agama yang benar, seperti Islam,
dimana agama merupakan hal yang paling sesuai dalam memupuk dan menjaga
kebebasan itu.
5.Penjelasan dari orang yang bukan ahlinya. Di Barat, bahkan
di Timur juga, setiap orang merasa mempunyai hak untuk ikut angkat bicara dalam
permasalahan agama. Hal ini membuat sejumlah topik pembahasan yang tak dapat
diterima oleh para pakar agama menyebar di tengah-tengah masyarakat.
6.Terciptanya kesan kalau agama tidak sesuai dengan
kebahagian duniawi. Di Barat, bukan rahasia umum lagi bahwa jika seseorang
meinginginkan kebahagian ukhrawi ia harus meninggalkan kebahagiaan duniawi,
membujang, dibaptis, bergaul dengan kemiskinan dan hidup melarat. Padahal,
dalam agama yang benar tidaklah demikian. Agama yang benar menjamin kedua
kebahagian itu sekaligus.
Dekadensi moral dan praktikal. Menerima agama berarti
menerima beberapa pembatasan dalam tindak-tanduk manusia. Oleh karena itu, para
penyembah syahwat dan hawa nafsu akan mengingkari agama dan tuntunannya serta
ingin membebaskan diri dari berbagai pembatasan tersebut. Memuncaknya dekadensi
moral di Barat pada dua-tiga abad yang lalu telah mengurangi kecenderungan
masyarakatnya kepada spiritual dan berakhir dengan pengingkaran akan tuntunan
dan ajaran agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar